Njoto dan tragedi G30S
(Diambil dari edisi khusus TEMPO 5-11 Oktober 2009)
Karena Janji Setia
Hanya satu dekade mereka bersama. Sel penjara tak meluruhkan cintanya.
CINCIN emas itu masih melingkar di jari manisnya yang telah keriput. Di
sisi dalam lingkaran terukir nama sang pemilik, Soetarni, dalam huruf
italik. Inilah satu-satunya tanda cinta Njoto yang tetap menemaninya
lebih dari setengah abad.
Njoto memberikan cincin tiga gram itu kepada Soetarni sebagai maskawin
dalam perhelatan di Solo pada Mei 1955. ”Selain cincin, tak ada lagi
yang tersisa,” kata Soetarni di Jakarta tiga pekan lalu. Di usianya yang
senja, ningrat Mangkunegaran itu masih cukup jernih menuturkan masa
lalunya.
Soetarni mengenal salah satu pemimpin Partai Komunis Indonesia itu
sepuluh tahun sebelum perkawinannya. Ketika itu ia siswa Sekolah
Susteran, semacam sekolah kepandaian putri setingkat SMP di
Mangkunegaran, Solo. Di antara teman seangkatannya ada Sri Windarti,
adik Njoto.
Satu hari, Windarti dan Njoto yang tinggal di Kemlayan, tak jauh dari
Keraton Mangkunegaran, bersepeda ke Desa Palur, sekitar 10 kilometer di
timur Solo. Ayah mereka menyuruh mengantar surat ke rekan bisnisnya,
Nyai Nami Kesuma Darmojo. Setelah menjalankan tugas, kakak-adik itu
mampir ke rumah Widna Harjono, seorang kerabat di Palur.
Pada waktu bersamaan, Soetarni dan adiknya, Soetarti, juga bertandang ke
kediaman Widna. Mereka akhirnya kumpul bareng di gubuk belakang rumah.
Disuguhi rujak dan hamparan sawah nan luas, obrolan mengalir renyah.
Widna sempat meledek bahwa Soetarnilah jodoh Njoto. ”Eh, beneran,” kata
Soetarni.
Pertemuan Palur berlanjut. Bila ada waktu senggang, Windarti bertamu ke
rumah Soetarni di depan Stasiun Solo Balapan. Pun sebaliknya. Bila main
ke Kemalayan, perempuan kelahiran 10 Juni 1928 itu kerap mendapati Njoto
tengah bermain musik. Ia bisa memainkan gitar, juga drum.
Walau jarang bertemu, kata Soetarni, Njoto sering bersikap sok akrab.
Kadang usilnya keluar, sebuah cubitan kerap mendarat di kulit Soetarni.
Biar dikejar,” katanya dengan tawa berderai. Bila tak sempat tatap
muka, pemuda itu sesekali berkirim surat, tanda hati rindu berat.
Saat-saat berbunga itu tak lama. Ketika pusat pemerintahan pindah ke
Yogyakarta pada awal 1946, Njoto juga hijrah ke kota pendidikan itu
setelah masuk Komite Nasional Indonesia Pusat. Sejak itu, tak ada surat
ataupun selentingan kabar tentang Njoto.
Kisah dua sejoli ini berjalan sendiri-sendiri. Selain sekolah, Soetarni
aktif di tim olahraga Solo. Ia mewakili kota batik itu dalam pekan
olahraga nasional untuk cabang bola keranjang, olahraga semacam basket.
Raden ajeng itu sempat beralih menjadi atlet anggar. Keterampilan ini ia
peroleh dari ayahnya, Raden Mas Sumo Sutargio.
Dalam periode itu, Soetarni sempat dekat dengan seorang tentara. Namun
hubungan itu tak sempat beranjak ke pelaminan.
Menurut Soetarni, Njoto yang sudah aktif di PKI sempat menjalin asmara
dengan beberapa gadis. Setelah tragedi Madiun 1948, Njoto pindah ke
Jakarta. Di sana ia tinggal bersama keluarga Cina. Njoto jadi anak
kesayangan dan mendapat nama fam keluarga itu. Anak gadisnya juga jatuh
hati. Sekali dua mereka nonton film bareng.
Di Jember, Jawa Timur, Njoto juga punya tambatan hati. Namun, karena
lama tak ada kejelasan, ibu si gadis meminta hubungan keduanya disudahi.
Ia memberikan ultimatum, bila dalam satu bulan Njoto tak juga mengajukan
pinangan, anaknya akan dikawinkan dengan pria lain. Kekasih Jembernya
itu menemui Njoto di Yogyakarta, dan ia dipersilakan mengikuti kehendak
ibunya.
Berbarengan dengan itu, Njoto terus bergelut di partai, bergerak dari
Jakarta ke Yogyakarta atau kota yang lain. Pada awal 1955, ia
meninggalkan Batavia menuju Jember menggunakan kereta api untuk menengok
kakeknya yang sakit. Dia menyempatkan diri singgah di Solo barang seharmal.
Sepucuk surat ia berikan kepada Iramani. Adik bungsunya itu mendapat
tugas menyampaikannya ke Soetarni. Di pekarang rumah, ia mendapati
Soetarni sedang menyapu halaman. Wajahnya merona begitu membaca surat
yang berlembar-lembar itu.
Melalui surat yang panjang tadi, Njoto meminang Soetarni. Gadis itu tak
kuasa menolak permintaan mantan kekasihnya. Deretan kata-kata dalam
lembaran kertas tersebut membuatnya takluk. Di antaranya ada janji setia
sehidup semati. ”Juga, janji menjadi suami yang baik,” kata Soetarni.
Hasrat berumah tangga itu diutarakan Njoto ke Windarti seusai Kongres
Partai Komunis di Solo. Dalam santap malam yang ditemani Mula Naibaho,
kawannya di Harian Rakjat, Njoto mengatakan akan melamar seorang raden
ajeng. ”Tak mengira sama teman saya,” kata Windarti.
Tak berselang lama, datanglah keluarga Jember. Di antaranya ada
Masalmah, ibu Njoto, serta kakeknya. Rombongan itu menginap di rumah
Soetarminah, kakak Soetarni, yang juga tak jauh dari Stasiun Solo
Balapan. ”Acaranya malam,” kata Iramani.
Sebulan kemudian, pesta digelar. Hampir semua kerabat Mangkunegaran
hadir. Raden Mas Soemoharjomo dan Raden Ayu Hatmanti, orang tua Siti
Hartinah Soeharto, menjadi pendamping kedua mempelai dalam resepsi adat
Jawa itu. Menurut Iramani, kendurian itu menjadi spesial lantaran tamu
undangan dihibur band teman-teman Njoto.
Pesta syukuran kembali digelar di Jember. Setelah itu, keduanya berbulan
madu ke Surabaya, Bondowoso, lalu Bali. Sebulan lebih bertamasya, mereka
kemudian tinggal di Jakarta.
Rumah di Jalan Bluntas, Jakarta Pusat—belakang Rumah Sakit St.
Carolus—menjadi kediaman pertama. Dua anaknya lahir di sini. Setelah
Njoto menjabat menteri negara dan Wakil Ketua Comite Central PKI, mereka
pindah ke Jalan Malang 22, Menteng. Di sini mereka kembali dikarunai
lima anak.
Soetarni merasa janji Njoto menjadi suami yang baik terpenuhi. Walau
sibuk mengurus partai dan pemerintahan, perhatian Njoto tak berkurang.
Kadang, pekerjaan dibawa pulang agar berkumpul dengan keluarga. Bila
capai, ada saja idenya. Ia sering mengajak jalan-jalan sekadar mencari
rujak atau jajanan lain. Jika sopir kedapatan sedang istirahat, mereka
naik becak. ”Bapak tak bisa nyopir,” kata Svetlana Dayani, anak pertama
Njoto.
Gaya supel nan rame Njotolah yang membuat istrinya nyaman. Sebagai
seniman, sikap romantis suaminya pun kerap muncul, yang membuat Soetarni
serasa terbang. ”Wah, manis sekali memakai baju ini,” kata Iramani
mengingat puji-puji kakaknya. Bila tidak cocok, Njoto mengatakan dengan
pilihan kata yang tetap indah.
Njoto juga tak segan mengajak istrinya menghadiri kegiatan kenegaraan
atau acara informal lain, seperti melihat pertunjukan wayang atau
ludruk. Sesekali mereka ke Senayan menyaksikan pertandingan sepak bola.
Soetarni juga bebas beraktivitas. Dia masih kerap bermain anggar.
Sesekali ikut menceburkan diri ke kolam sembari menemani anak-anaknya
kursus renang. Namun, status sebagai atlet ia tinggalkan. Ia memilih
membesarkan buah hatinya.
Menurut Soetarni, suaminya juga pendongeng unggul. Kancil menjadi cerita
favorit pengantar tidur anak-anaknya. ”Tapi sering ngawur, cerita
mencong-mencong, bikin sendiri,” katanya. Bila turut ketiduran, Njoto
suka mengigau. Kadang sampai tepuk tangan. ”Kalau saya ceritakan, dia
tak percaya.”
Namun semua kebahagiaan itu direnggut setelah 30 September 1965. Sebagai
petinggi PKI, Njoto diburu tentara. Sebelum menghilang, Njoto
mengungsikan keluarganya ke daerah Kebayoran Baru. Nyatanya, Soetarni
dan anak-anaknya juga dijebloskan ke penjara.
Selama sebelas tahun Soetarni berada di balik jeruji. Ia dipindah
berkali-kali, dari penjara Wonogiri dan Plantungan di Jawa Tengah,
hingga Bukit Duri, Jakarta. Di sel-sel itu, sipir selalu menanyakan
Njoto. ”Justru saya yang mau tanya di mana suami saya,” jawab Soetarni.
Ia baru bebas pada 1979.
Walau sebagian hidupnya habis di balik jeruji penjara, Soetarni tak
pernah menyesal menjadi istri Njoto. Ia tak menyalahkan suaminya karena
masuk PKI. Penjara tak melunturkan cintanya. Hanya, selain cincin emas
itu, kini tak ada lagi barang kenangan Njoto. Satu per satu hilang atau
sengaja dilenyapkan untuk menghindari pengejaran tentara.
* * *